ini udah ku posting di fb ku. tapu ku posting lagi di blog ku. :)
Seorang penyiar tv di Jakarta bertanya pada korespondennya di Tokyo.  “Bagaimana keadaan di Jepang? Setelah bencana, apakah harga-harga pada  naik?” tanyanya. “Maksudnya bagaimana?” Tanya koresponden itu balik. “Di  Indonesia, kalau ada bencana harga-harga kan naik, terutama tarif transportasi. Apakah Jepang begitu?”
             Itu sungguh prespektif kita. Bencana berarti membuat keadaan tak  normal. Bencana juga berarti keterbatasan. Pasokan barang dan jasa  berkurang karena bencana. Keseimbangan pasar terganggu. Para penyedia  barang dan jasa akan memanfaatkan kesempatan menaikkan harga. Pedagang,  tukang ojek, dan penyedia jasa lain. Kapan lagi dapat durian runtuh.
             Di Jepang tidak begitu. Tak ada yang mengambil kesempatan buat pribadi  dalam duka bersama. Pepatah ‘mengail di air keruh’ tak berlaku disana.  Bahkan, dipandang amoral. Sebaliknya, mereka justru mejaga tegak  martabat diri. Di tengah situasi sangat sulit, tak ada yang menjarah.  Untuk mendapat sedikit kebutuhan, mereka tetap tertib antre. Aib untuk  memcoba memotong barisan.
            Sedih tentu. Siapa tak  terluka kehilangan segala? Bahkan, sanak saudara. Tapi, semua mencoba  tetap tegar. Mereka menolak ‘menjual sedih’. Media setempat tak banyak  mengekspos kesedihan. Sebaliknya, justru menunjukan upaya bangkit.  Sebuah pertandingan sepak bola internasionla tetap digelar. Komitmen  untuk investasi di Indonesia pun tak direvisi. Meskipun babak belur,  Jepang berusaha kleras untuk normal. Spirit itu yang membuat mereka  cepat bangkit.
            Jepang selalu menjadikan petaka sebagai  pelajaran. Petaka adalah kesempatan merevisi kesalahan. Kesempatan  meniongkatkan diri menjadi lebih baik. Pada pertengahan abad 19, bangsa  Jepang, yang telah disatukan oleh Hideyoshi Toyotomi tiga abad  sebelumnya, tercengang. ‘Kapal Hitam’ Amerika Serikat telah bersauh di  Jepang dan mengarahkan moncong meriamnya ke Tokyo. Buat mereka ‘kalah’  dari bangsa lain adalah petaka.
            Mereka tak membiarkan  itu terjadi. Petaka ‘Kapal Hitam’ dipakai untuk melecut diri:  mentransformasi total budaya dan peradabannya agar bermartabat di kancah  dunia. Untuk itu, Jepang bermetamorfosa melalui Restorasi Meiji yang  diawali tahun 1868. Hasilnya adalah Jepang baru yang kuat, yang  mengalahkan Rusia pada 1905.
            Kalah telak di Perang  Dunia II tahun 1945 pun menjadi momentum menata diri. Ego kebangsaan  berlebihan mereka singkirkan. Sikap chauvinistis terbukti telah  melahirkan arogansi membuta. Itu mebuat Jepang salah jalan. Hasilnya,  Jepang dihajar bom atom. Bom yang mendorong Jepang mengubah diri  menjadilebih rendah hati, lebih bekerja keras, dan lebih disiplin  menjadi bangsa pembelajar. Prinsip kaizen dijalankan secara ketat hingga menjadi Jepang yang perkasa lagi di dunia.
             Gempa besar yang meluluhlantakkan dan membakar Kobe tahun 1999 juga tak  dibiarkan sekadar menjadi catatan sejarah. Mereka belajar keras dari  tragedy itu. Hasilnya, sekarang dunia tercengang melihat gedung-gedung  pencakar langit Jepang. Gedung-gedung itu tak runtuh digoyang gempa  mendekati kekuatan 9 pada Skala Richter. Gedung-gedung itu berayun bagai  pohon diterpa angina. Kemampuan yang belum dimiliki bangsa-bangsa lain  di dunia.
            Tsunami 2011 pekan lalu memang  meluluhlantakkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Tapi, Jepang pasti  akan belajar dari tragedy ini. Belajar untuk lebih melindingi warga dari  ancaman tsunami lagi pada masa mendatang. Belajar untuk lebih mampu  mengamankan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Belajar untuk lebih  efektif mengembangkan teknologi energi terbarukan.
             Kapasitas belajar itu tak lepas dari sikap mereka yang menjunjung tinggi  integritas. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta  saja.  Padahal, uang itu bukan buat pribadi, melainkan sebagai donasi politik.  Kedisiplinan menjaga tegak integritas yang kini belum terwujud di sini.  Integritas, etos, hingga penerapan ketat prinsip kaizen itulah yang membuat Jepang luar biasa.
             Saat ini, kita belu mnejadi bangsa seperti itu. Kita masih menjadi  bangsa yang suka menakut-nakuti diri sendiri. Mulai dari urusan pocong  hingga kemungkinan bahaya PLTN. Padahal, terbukti korban PLTN Jepang  kalah jauh disbanding tragedy Gunung Merapi. Kita masih suia mengecam  bahkan menyerang satu sama lain. Maka, tragedy menyedihkan ‘bom buku’ di  ‘utan kayu’, Jakarta, masih terjadi. Kita masih suka korupsi dan hormat  pada pejabat yang suka memberi uang. Itu yang membuat bangsa, yang  sudah hampir tiga perempat abad merdeka ini, belum cukup bermartabat.
             Fenomena Jepang, yang kita tengok kembali karena tragedy tsunami,  semestinya membuat bangsa inibelajar. Belajar bagaiman kita menjadi  bangsa yang berintegritas teguh, beretos kuat, dan pembelajar yang  disiplin. Itu yang akan membuat kita menjadi bangsa bermartabat. Bangsa  yang seperti Jepang, diakui bangsa-bangsa lain sebagai bangsa luar  biasa.
Source: Republika, 18 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar