Sabtu, 02 April 2011

BANGSA LUAR BIASA

ini udah ku posting di fb ku. tapu ku posting lagi di blog ku. :)

Seorang penyiar tv di Jakarta bertanya pada korespondennya di Tokyo. “Bagaimana keadaan di Jepang? Setelah bencana, apakah harga-harga pada naik?” tanyanya. “Maksudnya bagaimana?” Tanya koresponden itu balik. “Di Indonesia, kalau ada bencana harga-harga kan naik, terutama tarif transportasi. Apakah Jepang begitu?”
            Itu sungguh prespektif kita. Bencana berarti membuat keadaan tak normal. Bencana juga berarti keterbatasan. Pasokan barang dan jasa berkurang karena bencana. Keseimbangan pasar terganggu. Para penyedia barang dan jasa akan memanfaatkan kesempatan menaikkan harga. Pedagang, tukang ojek, dan penyedia jasa lain. Kapan lagi dapat durian runtuh.
            Di Jepang tidak begitu. Tak ada yang mengambil kesempatan buat pribadi dalam duka bersama. Pepatah ‘mengail di air keruh’ tak berlaku disana. Bahkan, dipandang amoral. Sebaliknya, mereka justru mejaga tegak martabat diri. Di tengah situasi sangat sulit, tak ada yang menjarah. Untuk mendapat sedikit kebutuhan, mereka tetap tertib antre. Aib untuk memcoba memotong barisan.
            Sedih tentu. Siapa tak terluka kehilangan segala? Bahkan, sanak saudara. Tapi, semua mencoba tetap tegar. Mereka menolak ‘menjual sedih’. Media setempat tak banyak mengekspos kesedihan. Sebaliknya, justru menunjukan upaya bangkit. Sebuah pertandingan sepak bola internasionla tetap digelar. Komitmen untuk investasi di Indonesia pun tak direvisi. Meskipun babak belur, Jepang berusaha kleras untuk normal. Spirit itu yang membuat mereka cepat bangkit.
            Jepang selalu menjadikan petaka sebagai pelajaran. Petaka adalah kesempatan merevisi kesalahan. Kesempatan meniongkatkan diri menjadi lebih baik. Pada pertengahan abad 19, bangsa Jepang, yang telah disatukan oleh Hideyoshi Toyotomi tiga abad sebelumnya, tercengang. ‘Kapal Hitam’ Amerika Serikat telah bersauh di Jepang dan mengarahkan moncong meriamnya ke Tokyo. Buat mereka ‘kalah’ dari bangsa lain adalah petaka.
            Mereka tak membiarkan itu terjadi. Petaka ‘Kapal Hitam’ dipakai untuk melecut diri: mentransformasi total budaya dan peradabannya agar bermartabat di kancah dunia. Untuk itu, Jepang bermetamorfosa melalui Restorasi Meiji yang diawali tahun 1868. Hasilnya adalah Jepang baru yang kuat, yang mengalahkan Rusia pada 1905.
            Kalah telak di Perang Dunia II tahun 1945 pun menjadi momentum menata diri. Ego kebangsaan berlebihan mereka singkirkan. Sikap chauvinistis terbukti telah melahirkan arogansi membuta. Itu mebuat Jepang salah jalan. Hasilnya, Jepang dihajar bom atom. Bom yang mendorong Jepang mengubah diri menjadilebih rendah hati, lebih bekerja keras, dan lebih disiplin menjadi bangsa pembelajar. Prinsip kaizen dijalankan secara ketat hingga menjadi Jepang yang perkasa lagi di dunia.
            Gempa besar yang meluluhlantakkan dan membakar Kobe tahun 1999 juga tak dibiarkan sekadar menjadi catatan sejarah. Mereka belajar keras dari tragedy itu. Hasilnya, sekarang dunia tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit Jepang. Gedung-gedung itu tak runtuh digoyang gempa mendekati kekuatan 9 pada Skala Richter. Gedung-gedung itu berayun bagai pohon diterpa angina. Kemampuan yang belum dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia.
            Tsunami 2011 pekan lalu memang meluluhlantakkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Tapi, Jepang pasti akan belajar dari tragedy ini. Belajar untuk lebih melindingi warga dari ancaman tsunami lagi pada masa mendatang. Belajar untuk lebih mampu mengamankan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Belajar untuk lebih efektif mengembangkan teknologi energi terbarukan.
            Kapasitas belajar itu tak lepas dari sikap mereka yang menjunjung tinggi integritas. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta  saja. Padahal, uang itu bukan buat pribadi, melainkan sebagai donasi politik. Kedisiplinan menjaga tegak integritas yang kini belum terwujud di sini. Integritas, etos, hingga penerapan ketat prinsip kaizen itulah yang membuat Jepang luar biasa.
            Saat ini, kita belu mnejadi bangsa seperti itu. Kita masih menjadi bangsa yang suka menakut-nakuti diri sendiri. Mulai dari urusan pocong hingga kemungkinan bahaya PLTN. Padahal, terbukti korban PLTN Jepang kalah jauh disbanding tragedy Gunung Merapi. Kita masih suia mengecam bahkan menyerang satu sama lain. Maka, tragedy menyedihkan ‘bom buku’ di ‘utan kayu’, Jakarta, masih terjadi. Kita masih suka korupsi dan hormat pada pejabat yang suka memberi uang. Itu yang membuat bangsa, yang sudah hampir tiga perempat abad merdeka ini, belum cukup bermartabat.
            Fenomena Jepang, yang kita tengok kembali karena tragedy tsunami, semestinya membuat bangsa inibelajar. Belajar bagaiman kita menjadi bangsa yang berintegritas teguh, beretos kuat, dan pembelajar yang disiplin. Itu yang akan membuat kita menjadi bangsa bermartabat. Bangsa yang seperti Jepang, diakui bangsa-bangsa lain sebagai bangsa luar biasa.

Source: Republika, 18 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar